Gambar Font Graffiti
Senin pekan lalu bukan awal pekan yang menyenangkan bagi George Walker Bush untuk mengawali kegiatan kepresidenannya. National Intelligence Council (NIC), lembaga konsultasi komunitas intelijen Amerika, mempublikasikan laporannya lewat National Intelligence Estimate (NIE). Laporan itu menyebutkan, NIC sangat yakin Iran telah menghentikan program senjata nuklirnya pada 2003 dan hingga kini program itu dibekukan karena tekanan internasional.
NIC juga menyatakan, program senjata nuklir Iran itu tetap tak berlangsung hingga pertengahan 2007. Ya, apa boleh buat, tawarlah segala sesuatu yang selama ini dikemukakan kabinet Presiden Bush, termasuk pernyataan sang presiden Oktober lalu bahwa Perang Dunia III akan meletus jika dunia internasional tak bisa menghentikan program nuklir Iran.
Laporan NIC itu cepat membuat heboh Gedung Putih. Pejabat Gedung Putih segera mengoreksi jadwal Presiden Bush yang sedianya tampil dalam konferensi pers harian. Seorang penjabat Gedung Putih menyatakan, Presiden Bush perlu persiapan untuk mengomentari laporan NIC. Laporan yang memang merupakan pukulan bagi kelompok elang, kelompok garis keras Amerika ini, sejak kegagalan Amerika menemukan bukti laporan CIA bahwa rezim Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal pada 2003. Konferensi pers akhirnya diadakan keesokan harinya.
Menurut Bush, sebenarnya ia sudah dibisiki Direktur Intelijen Nasional Mike McConnell soal analisis intelijen tentang senjata nuklir Iran pada Agustus lalu. Namun, kepastiannya baru ia terima dari McConnel sepekan sebelum NIC mempublikasikan laporan itu. Itulah sebabnya Bush masih menggebu-gebu menyatakan kepada dunia internasional tentang kemungkinan pecahnya Perang Dunia III jika Iran dibiarkan memiliki senjata nuklir. Selain itu, sejumlah staf Wakil Presiden Dick Cheney rajin menganjurkan agar Amerika segera menyerang Iran. Diyakini, akibat retorika Amerika yang terus-menerus soal Iran, harga minyak terbang tinggi, nyaris menembus angka US$ 100 per barel.
NIC adalah lembaga konsultasi masyarakat intelijen Amerika yang terdiri atas 16 badan intelijen, dari CIA hingga intelijen Departemen Keuangan. NIC melaporkan temuannya kepada Direktur Intelijen Nasional, Mike McConnell, yang pernah memimpin Badan Keamanan Nasional.
Menurut seorang pejabat intelijen, tak mudah mengumpulkan informasi akurat soal nuklir Iran sejak revolusi Islam pada 1979 yang menumbangkan Shah Reza Pahlevi yang didukung Amerika. NIC pun menempuh berbagai cara untuk memperoleh informasi itu, kendati perlahan-lahan ia mulai menarik jarak dari sumber konvensional yang selama ini memasok keterangan intelijen. Ya, mereka sangat bergantung pada informasi dari para pembelot Iran.
NIC memang masih menggunakan jasa pembelot untuk melengkapi data intelijennya tentang nuklir Iran, dan sumber ini diduga Jenderal Ali-Reza Asgari, bekas wakil Menteri Pertahanan dan Komandan Pengawal Revolusi Iran. Asgari menghilang di Turki setahun lalu. Kemungkinan besar ia membelot atau diculik dan sangat mungkin ia kini di tangan Amerika.
Di luar itu, NIC banyak mengandalkan bahan intelijen nuklir Iran yang justru dipungut dari rekaman video hasil perjalanan wartawan asing di pabrik pengayaan uranium di Natanz pada 2005. Rekaman yang menggambarkan bagian dalam pabrik Natanz itu membantu para analis menyimpulkan bahwa pabrik itu hanya cocok untuk proses pengayaan uranium tingkat rendah, tapi tidak cocok untuk kegiatan pengayaan uranium tingkat tinggi yang dibutuhkan untuk memproduksi senjata nuklir.
Sebagian data lain diperoleh dari laporan teknis Badan Tenaga Atom International (IAEA) yang memperoleh izin melakukan inspeksi ke sejumlah situs nuklir Iran. Laporan terakhir Direktur Jenderal IAEA Muhammad el-Baradei menyatakan, tidak ditemukan bukti yang bisa dipercaya bahwa Iran sedang memproduksi senjata nuklir. Berdasarkan sumber-sumber itulah NIC berkesimpulan bahwa Iran masih menghadapi kesulitan teknis menangani mesin pemutar untuk memperkaya uranium. Dari situ disimpulkan, tidak mungkin Iran sanggup menghasilkan bahan bakar nuklir untuk skala senjata nuklir. Menurut laporan NIC, negeri itu baru bisa membuat senjata nuklir pada 2010-2015.
NIC juga memperoleh data hasil penyadapan komunikasi pejabat nuklir Iran, juga dari pencurian satu komputer jinjing warga negara Iran yang berisi diagram yang berhubungan dengan pengembangan hulu ledak nuklir untuk rudal. Dari keterangan kedua sumber itu, mengalirlah keterangan sangat penting tentang program nuklir Iran pada masa lalu. Hasil penyadapan pembicaraan itu telah membantu meyakinkan analisis bahwa Iran menghentikan pembuatan senjata nuklir pada 2003 dan meneruskan program energi nuklir untuk kepentingan sipil.
Pembelaan dari dalam kandang musuh ini tentu membuat pemerintah Iran senang. Apalagi, laporan ini dinilai lebih bisa dipercaya dibanding laporan CIA—badan ini pernah menyuplai Amerika dengan analisis yang salah tentang senjata kimia dan biologi rezim Saddam Hussein di Irak. “Penilaian baru intelijen Amerika merupakan kemenangan program nuklir Iran,” ujar Presiden Iran Ahmadinejad. Menurut bekas Wali Kota Teheran ini, perubahan pandangan itu menunjukkan keberhasilan Iran menolak tekanan Amerika dan Uni Eropa tanpa kompromi.
Namun, kebijakan bertahun-tahun itu tak langsung kandas gara-gara laporan dewan itu. Hingga kini Presiden Bush tetap menyatakan Iran masih berbahaya karena terus melakukan pengayaan nuklir. Menurut Bush, sebagaimana laporan NIC, Iran masih memiliki kemampuan memproduksi senjata nuklir tiga hingga lima tahun mendatang. Bagi Bush, laporan itu justru merupakan momen bagi Amerika untuk menggalang masyarakat internasional menekan Iran agar menghentikan pengayaan uranium. “Iran dulu berbahaya, Iran sekarang ini berbahaya, dan Iran akan tetap berbahaya jika memiliki pengetahuan untuk membuat senjata nuklir,” kata Bush. Bush diduga menyimpan rencana melancarkan serangan militer sebelum jabatan kepresidenannya berakhir.
Israel yang juga memiliki senjata nuklir tapi tidak dipersoalkan Amerika, juga menolak temuan yang ada dalam NIE. Israel yakin Iran telah memulai lagi upaya membuat senjata nuklir.
Penulis laporan NIE itu juga tak luput dari serangan kelompok garis keras Amerika. Koran Wall Street Journal menggarisbawahi motif politik di balik laporan itu. Ia menyebut nama Thomas Fingar, salah satu penulis laporan, sebagai satu dari tiga pejabat yang sangat partisan dan anti-Bush di balik laporan dalam NIE itu. Seorang pejabat Amerika juga mengkritik bahwa dalam NIE tak disebutkan satu keyakinan bahwa program nuklir Iran semata-mata untuk tujuan damai, sebagaimana disyaratkan perjanjian NPT (Kesepakatan Non-Proliferasi Nuklir).
Menurut Stephen Hadley, penasihat keamanan nasional Bush, masyarakat internasional harus meningkatkan tekanan terhadap Iran dengan melakukan pengucilan diplomatik, sanksi PBB dan tekanan ekonomi lainnya. Presiden Bush dan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy kini sangat bernafsu mendorong Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi ketiga terhadap Iran. Keduanya tak lagi mendengar pendapat Direktur Jenderal IAEA, Muhammad el-Baradei, bahwa laporan NIC itu bisa menjadi pintu penyelesaian nuklir Iran lewat jalur diplomasi.
Kini, dipelopori Sarkozy, negara-negara Eropa menolak mengendurkan tekanan terhadap Iran. Di dalam negeri Amerika sendiri, sebuah penolakan terhadap dominasi kelompok elang telah dilancarkan melalui laporan itu. “Upaya menggelar sanksi PBB yang ketiga sudah tamat,” ujar Bruce Ridel, bekas pejabat senior CIA yang kini kritis terhadap lembaga itu.
Raihul Fadjri (NY Times, Washington Post, AP, The Guardian)